A. Pendahuluan
Asma
atau bengek adalah suatu penyakit alergi yang bercirikan peradangan steril
kronis yang disertai serangan napas akut secara berkala, mudah sengal-sengal
dan batuk (dengan bunyi khas). Ciri lain adalah hipersekresi dahak yang
biasanya lebih parah pada malam hari dan meningkatnya ambang rangsang
(hipereaktivitas) bronchi terhadap rangsangan alergis. Faktor-faktor genetis
bersama faktor lingkungan berperan pada timbulnya gejala-gejala tersebut (Tjay
dan Rahardja, 2007).
Asma
bronkial merupakan penyakit inflamasi di mana ukuran diameter jalan nafas
menyempit secara kronis akibat edema dan tidak stabil. Selama serangan pasien
mengalami mengi dan kesulitan bernafas akibat bronkospasme, edema mukosa, dan
pembentukan mukus. Terkadang inflamasi kronis menyebabkan perubahan ireversibel
pada jalan nafas. Bila serangan akut mempunyai dasar alergi, sering digunakan
istilah asma ekstrinsik. Bila tidak ada dasar alergi yang jelas untuk penyakit
ini, disebut asma intrinsik (Neal, 2006).
Serangan
asma dapat memiliki intensitas kuat atau lemah dan dapat menghilang untuk waktu
yang lama sebelum timbul lagi. Serangan asma yang parah dapat menimbulkan
kondisi yang disebut status asmatikus, yang ditandai oleh warna kulit kebiruan,
nafas tersengal, dada menggembung dengan bahu terangkat, lemas, kebingungan dan
kegelisahan, cemas dan takikardia (denyut jantung cepat). Tanda-tanda itu
disebabkan oleh kurangnya asupan oksigen ke dalam tubuh. Seorang pasien dalam
status asmatikus harus segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan
perawatan intensif (anonim,2011).
Pemicu Asma
Serangan
asma dapat dipicu oleh alergi atau non-alergi. Sebagian besar kasus asma dipicu
oleh alergi (70-80%). Asma alergi disebabkan oleh reaksi autoimun yang
berlebihan. Alergi terhadap bulu hewan, tungau, debu, udara dingin, atau serbuk
sari dapat memicu serangan asma. Pada 20-30% kasus lainnya, serangan asma
dipicu oleh reaksi non-alergi dan disebut asma intrinsik. Asma jenis ini tidak
melibatkan sistem imun tubuh dan biasanya dimulai di usia dewasa. Olahraga,
asap rokok, parfum, asap knalpot, kabut, makanan, stress, infeksi pernapasan
(seperti flu dan pilek) dan obat-obatan tertentu dapat memicu serangan asma
intrinsik (anonim,2011).
Asma
memengaruhi segala usia dan merupakan salah satu penyakit kronis yang paling
umum. Asma alergik lebih umum diusia anak-anak, dan umumnya menghilang diusia
dewasa. Asma secara umum lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
laki-laki, kecuali di usia muda, yang lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan (anonim,2011).
Penyebab
Penyebab
asma tidak diketahui. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan turut berperan
dalam perkembangan penyakit tersebut. Beberapa hal berikut dapat meningkatkan
risiko Anda memiliki asma:
· Riwayat keluarga. Jika salah satu
orangtua Anda memiliki asma atau alergi rhinitis, ada 50% kemungkinan Anda
mendapatkan asma. Jika kedua orang tua Anda memilikinya, kemungkinannya
meningkat menjadi 75%.
· Polusi udara. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa orang yang tinggal di dekat jalan raya utama dan tempat
tercemar lainnya lebih berisiko mendapatkan asma.
· Pekerjaan tertentu. Sekitar 10%
penderita asma mendapatkannya dari pekerjaan. Kondisi ini disebut asma kerja.
Beberapa contohnya antara lain:
o
Pekerja laboratorium bisa mendapatkan
asma dari binatang laboratorium (tikus dan kelinci percobaan).
o
Pelukis bisa mendapatkan asma dari zat
isosianat dalam semprot.
o
Petugas kebersihan bisa mendapatkan asma
dari butir debu.
o
Pemroses kepiting bisa mendapatkan asma
dari debu kepiting.
o
Memiliki ibu atau ayah merokok saat Anda
masih dalam kandungan (anonim,2011).
Patogenesi
Serangan
asma terjadi karena adanya gangguan pada aliran udara akibat penyempitan pada
saluran napas atau bronkiolus. Penyempitan tersebut sebagai akibat adanya
arteriosklerosis atau penebalan dinding bronkiolus, disertai dengan peningkatan
ekskresi mukus atau lumen kental yang mengisi bronkiolus, akibatnya udara yang
masuk akan tertahan di paru-paru sehingga pada saat ekspirasi udara dari
paru-paru sulit dikeluarkan, sehingga otot polos akan berkontraksi dan terjadi
peningkatan tekanan saat bernapas. Karena tekanan pada saluran napas tinggi
khususnya pada saat ekspirasi, maka dinding bronkiolus tertarik kedalam
(mengerut) sehingga diameter bronkiolus semakin kecil atau sempit, dapat
dilihat seperti pada Gambar. (Cunningham, 2003).
Berdasarkan
Gambar diatas asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos
bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang
timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut :
seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody
IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat
pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan
brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody
Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah
terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam
zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
leukotrient), faktor kemotaktik, eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari
semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus
kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot
polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi
daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi
paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat
sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang
menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma
biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali
melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea (pernapasan sulit atau menyakitkan;
sesak napas). Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat
meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi
dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest (dada berbentuk tong). Dada
tong adalah akibat pembesaran volume paru karena obstruksi aliran udara
(Damgraad, 2000).
Berdasarkan
mekanismenya, kerja obat – obat asma dapat dibagi dalam beberapa
golongan, yaitu :
a.Antialergika
Adalah
zat – zat yang bekerja menstabilkan mastcell, hingga tidak pecah dan melepaskan
histamin. Obat ini sangat berguna untuk mencegah serangan asma dan rhinitis
alergis (hay fever). Termasuk kelompok ini adalah kromoglikat.
Kromoglikat
merupakan obat profilaksis dan tidak mempunyai kegunaan pada serangan akut.
Kromoglikat mempunyai aksi antiinflamasi pada beberapa pasien (terutama
anak-anak), tetapi tidak mungkin memperkirakan pasien mana yang akan
mendapatkan manfaatnya. Kromoglikat harus diberikan secara teratur dan bisa
membutuhkan waktu beberapa minggu sebelum timbul efek yang menguntungkan.
mekanisme kerja kromoglikat tidak jelas. kromoglikat mungkin bekerja dengan
menurunkan sensitivitas saraf sensoris bronkus, menghilangkan refleks lokal
yang menstimulasi inflamasi .
b. Bronchodilator
Mekanisme
kerja obat ini adalah merangsang sistem adrenergik sehingga memberikan efek
bronkodilatasi. Termasuk kedalamnya adalah :
Adrenergika
Khususnya
β-2 simpatomimetika (β-2-mimetik), zat ini bekerja selektif terhadap reseptor
β-2 (bronchospasmolyse) dan tidak bekerja terhadap reseptor β-1 (stimulasi
jantung). Aktivitas adrenoseptor β merelaksasikan otot polos melalui
peningkatan cAMP intraselular yang mengaktivasi suatu protein kinase. Kelompok
β-2-mimetik seperti Salbutamol, Fenoterol, Terbutalin, Rimiterol, Prokaterol
dan Tretoquinol. Sedangkan yang bekerja terhadap reseptor β-2 dan β-1 adalah
Efedrin, Isoprenalin, Adrenalin, dan lain-lain.
Antikolinergika (Oksifenonium,
Tiazinamium dan Ipratropium)
Dalam
otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergik dan kolinergik. Bila
reseptor β-2 sistem adrenergik terhambat, maka sistem kolinergik menjadi
dominan, segingga terjadi penciutan bronchi.
Antikolinergik bekerja memblokir reseptor saraf kolinergik pada otot
polos bronchi sehingga aktivitas saraf adrenergik menjadi dominan, dengan efek
bronchodilatasi.
Efek
samping : tachycardia, pengentalan dahak, mulut kering, obstipasi, sukar
kencing, gangguan akomodasi. Efek samping dapat diperkecil dengan pemberian
inhalasi.
Derivat xantin (Teofilin,
Aminofilin dan Kolinteofinilat)
Mempunyai
daya bronchodilatasi berdasarkan penghambatan enzim fosfodiesterase dan
meningkatkan kadar cAMP selular. Selain itu, Teofilin juga mencegah
pengingkatan hiperaktivitas, sehingga dapat bekerja sebagai profilaksis.
c. Antihistamin (Loratadin,
cetirizin, fexofenadin)
Obat
ini memblokir reseptor histamin sehingga mencegah bronchokonstriksi. Banyak
antihistamin memiliki daya antikolinergika dan sedatif. Antagonis yang mblok
reseptor histamin H1 digunakan pada terapi alergi seperti demam hay, urtikaria,
ruam akibat sensitivitas terhadap obat, pruritus, serta gigitan dan sengatan
serangga.
d. Kortikosteroida (Hidrokortison,
Prednison, Deksametason, Betametason)
Daya
bronchodilatasinya berdasarkan mempertinggi kepekaan reseptor β-2, melawan efek
mediator seperti gatal dan radang. Penggunaan terutama pada serangan asma
akibat infeksi virus atau bakteri. Penggunaan jangka lama hendaknya dihindari,
berhubung efek sampingnya, yaitu osteoporosis, borok lambung, hipertensi dan
diabetes. Efek samping dapat dikurangi
dengan pemberian inhalasi.
e. Ekspektoransia (KI, NH4Cl,
Bromheksin, Asetilsistein)
Efeknya
mencairkan dahak sehingga mudah dikeluarkan. Pada serangan akut, obat ini
berguna terutama bila lendir sangat kental dan sukar dikeluarkan.
Mekanisme
kerja obat ini adalah merangsang mukosa lambung dan sekresi saluran napas
sehingga menurunkan viskositas lendir. Sedangkan Asetilsistein mekanismenya
terhadap mukosa protein dengan melepaskan ikatan disulfida sehingga viskositas
lendir berkurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar