Rabu, 12 Maret 2014

ASMA dan OBAT OBAT nya

A.    Pendahuluan

Asma atau bengek adalah suatu penyakit alergi yang bercirikan peradangan steril kronis yang disertai serangan napas akut secara berkala, mudah sengal-sengal dan batuk (dengan bunyi khas). Ciri lain adalah hipersekresi dahak yang biasanya lebih parah pada malam hari dan meningkatnya ambang rangsang (hipereaktivitas) bronchi terhadap rangsangan alergis. Faktor-faktor genetis bersama faktor lingkungan berperan pada timbulnya gejala-gejala tersebut (Tjay dan Rahardja, 2007).


Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi di mana ukuran diameter jalan nafas menyempit secara kronis akibat edema dan tidak stabil. Selama serangan pasien mengalami mengi dan kesulitan bernafas akibat bronkospasme, edema mukosa, dan pembentukan mukus. Terkadang inflamasi kronis menyebabkan perubahan ireversibel pada jalan nafas. Bila serangan akut mempunyai dasar alergi, sering digunakan istilah asma ekstrinsik. Bila tidak ada dasar alergi yang jelas untuk penyakit ini, disebut asma intrinsik (Neal, 2006).




Serangan asma dapat memiliki intensitas kuat atau lemah dan dapat menghilang untuk waktu yang lama sebelum timbul lagi. Serangan asma yang parah dapat menimbulkan kondisi yang disebut status asmatikus, yang ditandai oleh warna kulit kebiruan, nafas tersengal, dada menggembung dengan bahu terangkat, lemas, kebingungan dan kegelisahan, cemas dan takikardia (denyut jantung cepat). Tanda-tanda itu disebabkan oleh kurangnya asupan oksigen ke dalam tubuh. Seorang pasien dalam status asmatikus harus segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif (anonim,2011).




Pemicu Asma
Serangan asma dapat dipicu oleh alergi atau non-alergi. Sebagian besar kasus asma dipicu oleh alergi (70-80%). Asma alergi disebabkan oleh reaksi autoimun yang berlebihan. Alergi terhadap bulu hewan, tungau, debu, udara dingin, atau serbuk sari dapat memicu serangan asma. Pada 20-30% kasus lainnya, serangan asma dipicu oleh reaksi non-alergi dan disebut asma intrinsik. Asma jenis ini tidak melibatkan sistem imun tubuh dan biasanya dimulai di usia dewasa. Olahraga, asap rokok, parfum, asap knalpot, kabut, makanan, stress, infeksi pernapasan (seperti flu dan pilek) dan obat-obatan tertentu dapat memicu serangan asma intrinsik (anonim,2011).
Asma memengaruhi segala usia dan merupakan salah satu penyakit kronis yang paling umum. Asma alergik lebih umum diusia anak-anak, dan umumnya menghilang diusia dewasa. Asma secara umum lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki, kecuali di usia muda, yang lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan (anonim,2011).



Penyebab
Penyebab asma tidak diketahui. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan turut berperan dalam perkembangan penyakit tersebut. Beberapa hal berikut dapat meningkatkan risiko Anda memiliki asma:



·     Riwayat keluarga. Jika salah satu orangtua Anda memiliki asma atau alergi rhinitis, ada 50% kemungkinan Anda mendapatkan asma. Jika kedua orang tua Anda memilikinya, kemungkinannya meningkat menjadi 75%.
·     Polusi udara. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang tinggal di dekat jalan raya utama dan tempat tercemar lainnya lebih berisiko mendapatkan asma.
·       Pekerjaan tertentu. Sekitar 10% penderita asma mendapatkannya dari pekerjaan. Kondisi ini disebut asma kerja. Beberapa contohnya antara lain:
o   Pekerja laboratorium bisa mendapatkan asma dari binatang laboratorium (tikus dan kelinci percobaan).
o   Pelukis bisa mendapatkan asma dari zat isosianat dalam semprot.
o   Petugas kebersihan bisa mendapatkan asma dari butir debu.
o   Pemroses kepiting bisa mendapatkan asma dari debu kepiting.
o   Memiliki ibu atau ayah merokok saat Anda masih dalam kandungan (anonim,2011).



Patogenesi
Serangan asma terjadi karena adanya gangguan pada aliran udara akibat penyempitan pada saluran napas atau bronkiolus. Penyempitan tersebut sebagai akibat adanya arteriosklerosis atau penebalan dinding bronkiolus, disertai dengan peningkatan ekskresi mukus atau lumen kental yang mengisi bronkiolus, akibatnya udara yang masuk akan tertahan di paru-paru sehingga pada saat ekspirasi udara dari paru-paru sulit dikeluarkan, sehingga otot polos akan berkontraksi dan terjadi peningkatan tekanan saat bernapas. Karena tekanan pada saluran napas tinggi khususnya pada saat ekspirasi, maka dinding bronkiolus tertarik kedalam (mengerut) sehingga diameter bronkiolus semakin kecil atau sempit, dapat dilihat seperti pada Gambar. (Cunningham, 2003).







Berdasarkan Gambar diatas asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik, eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea (pernapasan sulit atau menyakitkan; sesak napas). Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest (dada berbentuk tong). Dada tong adalah akibat pembesaran volume paru karena obstruksi aliran udara (Damgraad, 2000).





       B.    Pembagian Obat-Obatan dan Mekanisme Kerja Obat
Berdasarkan mekanismenya,  kerja  obat – obat asma dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu :
a.Antialergika
Adalah zat – zat yang bekerja menstabilkan mastcell, hingga tidak pecah dan melepaskan histamin. Obat ini sangat berguna untuk mencegah serangan asma dan rhinitis alergis (hay fever). Termasuk kelompok ini adalah kromoglikat.
Kromoglikat merupakan obat profilaksis dan tidak mempunyai kegunaan pada serangan akut. Kromoglikat mempunyai aksi antiinflamasi pada beberapa pasien (terutama anak-anak), tetapi tidak mungkin memperkirakan pasien mana yang akan mendapatkan manfaatnya. Kromoglikat harus diberikan secara teratur dan bisa membutuhkan waktu beberapa minggu sebelum timbul efek yang menguntungkan. mekanisme kerja kromoglikat tidak jelas. kromoglikat mungkin bekerja dengan menurunkan sensitivitas saraf sensoris bronkus, menghilangkan refleks lokal yang menstimulasi inflamasi .
b. Bronchodilator
Mekanisme kerja obat ini adalah merangsang sistem adrenergik sehingga memberikan efek bronkodilatasi. Termasuk kedalamnya adalah :
Adrenergika
Khususnya β-2 simpatomimetika (β-2-mimetik), zat ini bekerja selektif terhadap reseptor β-2 (bronchospasmolyse) dan tidak bekerja terhadap reseptor β-1 (stimulasi jantung). Aktivitas adrenoseptor β merelaksasikan otot polos melalui peningkatan cAMP intraselular yang mengaktivasi suatu protein kinase. Kelompok β-2-mimetik seperti Salbutamol, Fenoterol, Terbutalin, Rimiterol, Prokaterol dan Tretoquinol. Sedangkan yang bekerja terhadap reseptor β-2 dan β-1 adalah Efedrin, Isoprenalin, Adrenalin, dan lain-lain.
Antikolinergika (Oksifenonium, Tiazinamium dan Ipratropium)
Dalam otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergik dan kolinergik. Bila reseptor β-2 sistem adrenergik terhambat, maka sistem kolinergik menjadi dominan, segingga terjadi penciutan bronchi.  Antikolinergik bekerja memblokir reseptor saraf kolinergik pada otot polos bronchi sehingga aktivitas saraf adrenergik menjadi dominan, dengan efek bronchodilatasi.
Efek samping : tachycardia, pengentalan dahak, mulut kering, obstipasi, sukar kencing, gangguan akomodasi. Efek samping dapat diperkecil dengan pemberian inhalasi.
Derivat xantin (Teofilin, Aminofilin dan Kolinteofinilat)
Mempunyai daya bronchodilatasi berdasarkan penghambatan enzim fosfodiesterase dan meningkatkan kadar cAMP selular. Selain itu, Teofilin juga mencegah pengingkatan hiperaktivitas, sehingga dapat bekerja sebagai profilaksis.
c. Antihistamin (Loratadin, cetirizin, fexofenadin)
Obat ini memblokir reseptor histamin sehingga mencegah bronchokonstriksi. Banyak antihistamin memiliki daya antikolinergika dan sedatif. Antagonis yang mblok reseptor histamin H1 digunakan pada terapi alergi seperti demam hay, urtikaria, ruam akibat sensitivitas terhadap obat, pruritus, serta gigitan dan sengatan serangga.
d. Kortikosteroida (Hidrokortison, Prednison, Deksametason, Betametason)
Daya bronchodilatasinya berdasarkan mempertinggi kepekaan reseptor β-2, melawan efek mediator seperti gatal dan radang. Penggunaan terutama pada serangan asma akibat infeksi virus atau bakteri. Penggunaan jangka lama hendaknya dihindari, berhubung efek sampingnya, yaitu osteoporosis, borok lambung, hipertensi dan diabetes. Efek samping  dapat dikurangi dengan pemberian inhalasi.
e. Ekspektoransia (KI, NH4Cl, Bromheksin, Asetilsistein)
Efeknya mencairkan dahak sehingga mudah dikeluarkan. Pada serangan akut, obat ini berguna terutama bila lendir sangat kental dan sukar dikeluarkan.
Mekanisme kerja obat ini adalah merangsang mukosa lambung dan sekresi saluran napas sehingga menurunkan viskositas lendir. Sedangkan Asetilsistein mekanismenya terhadap mukosa protein dengan melepaskan ikatan disulfida sehingga viskositas lendir berkurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar