DEFINISI
Diabetes melitus ( DM ) adalah suatu penyakit kelainan metabolik yang secara umum mempunyai kekurangan insulin yang relatif atau nyata. Insulin mempunyai kemampuan untuk meningkatkantransport glukosa untuk proses oksidasi lebih lanjut.
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinik yang terdiri dari peningkatan kadar gula darah, ekkresi gula melalui air seni dan gangguan mekanisme kerja hormon insulin.
Insulin adalah hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas.
Insulin merupakan polipeptida heteroodimer, yaitu polipeptida yang terdiri atas dua rantai yaitu rantai A dan B, yang saling dihubungkan oleh dua jembatan disulfida antar rantai yyang menghubungkan A7 ke B7 dan A20 ke B19.
Insulin merupakan protein kecil yang terdiri dari dua rantai asam amino.
Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi :
- Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)/ Juvenile onset/ ketosis prone/ type I Diabetes Mellitus.
Yaitu tipe dari diabetes melitus dimana terjadi kekurangan insulin secara total atau hampir total dan apabila tidak diberikan insulin kepada penderita dapat menyebabkan kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis.
- Non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)/ stable/ maturity onset/ type II Diabetes Mellitus.
Yaitu tipe dari diabetes melitus dimana penderita hanya menunjukkan defisiensi insulin yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka mungkin memerlukan suplementasi insulin (iinsulin requiring), tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis walaupun insulin eksogen diihentikan.
Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai insulin dependent diabetes mellitus (IDDM).
ETIOLOGI IDDM
Hampir semua (95%) kasus IDDM terjadi karena kombinasi genetik dan faktor lingkungan. Interaksi ini menyebabkan terjadinya destruksi autoimun pada sel beta pulau-pulau Langerhans. Defisiensi insulin baru terjadi saat 90% sel beta sudah mengalami destruksi.
Komponen genetik yang menyebabkan IDDM sudah jelas diteliti, yakni molekul DR3 dan DR4 pada HLA kelas II. Lebih dari 90% anak kulit putih memiliki ekspresi DR3 dan/atau DR4 pada HLA mereka. Pasien yang memiliki ekspresi DR3 juga berisiko memiliki endokrinopati autoimun dan penyakit celiac. Pasien pasien ini sangat berisiko menderita IDDM di kemudian hari karena telah terdeteksi adanya antibodi anti sel-sel beta. Pasien dengan DR4 umumnya menderita IDDM pada usia dini dan dapat ditemukan anibodi anti sel-sel beta namun tidak ditemukan endokrinopati autoimun lainnya. Frekuensi terjadinya IDDM pada anak ialah 2-3% jika sang ibu menderita diabetes dan 5-6% pada anak dengan ayah diabetes. Angkanya menjadi 30% pada anak dengan ayah ibu menderita diabetes.
Komponen lingkungan yang menyebabkan IDDM sangat berperan penting dan sifatnya sangat multifaktorial. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa infeksi virus Rubella dapat memodifikasi komponen autoimun sehingga ibu yang mengalami infeksi ketika hamil cenderung memiliki anak yang bebas penyakit autoimun, sebaliknya angka kejadian IDDM jauh meningkat pada ibu yang sangat rendah terekspos dengan infeksi ketika hamil. Anak-anak yang disusui oleh ibunya waktu kecil juga sedikit menderita IDDM, sedangkan terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa sebagian protein susu sapi (albumin serum bovine) memiliki antigen yang mirip dengan sel-sel beta. Nitrosamin, bahan pengawet makanan dan campuran air minum, juga dilaporkan dapat menyebabkan IDDM pada hewan, namun belum ada bukti dapat terjadi pada manusia.
Senyawa kimia yang dapat menyebabkan IDDM ialah Streptozocin dan RH-787, racun tikus yang spesifik menghancurkan sel-sel beta sehingga menyebabkan IDDM. Penyebab lainnya ialah tidak adanya pankreas atau sel beta kongenital sejak lahir, telah dilakukan pankreatektomi, atau telah terjadi disfungsi pankreas akibat penyakit lain, seperti fibrosis kistik, pankreatitis kronik, talasemia mayor, hemokromatosis, serta sindrom uremia hemolitik. Penyakit lainnya ialah sindrom Wolfram (diabetes insipidus, diabetes mellitus, atrofi optik, dan tuli) serta kelainan kromosom (sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, atau sindrom Prader-Willi).
EPIDEMIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI IDDM
Secara umum di dunia terdapat 15 kasus per 100.000 individu pertahun yang menderita DM tipe 1. Tiga dari 1000 anak akan menderita IDDM pada umur 20 tahun nantinya. Insiden DM tipe 1 pada anak-anak di dunia tentunya berbeda. Terdapat 0.61 kasus per 100.000 anak di Cina, hingga 41.4 kasus per 100.000 anak di Finlandia. Angka ini sangat bervariasi, terutama tergantung pada lingkungan tempat tinggal. Ada kecenderungan semakin jauh dari khatulistiwa, angka kejadiannya akan semakin tinggi. Meski belum ditemukan angka kejadian IDDM di Indonesia, namun angkanya cenderung lebih rendah dibanding di negara-negara eropa.
Lingkungan memang mempengaruhi terjadinya IDDM, namun berbagai ras dalam satu lingkungan belum tentu memiliki perbedaan. Orang-orang kulit putih cenderung memiliki insiden paling tinggi, sedangkan orang-orang cina paling rendah. Orang-orang yang berasal dari daerah dengan insiden rendah cenderung akan lebih berisiko terkena IDDM jika bermigrasi ke daerah penduduk dengan insiden yang lebih tinggi. Penderita laki-laki lebih banyak pada daerah dengan insiden yang tinggi, sedangkan perempuan akan lebih berisiko pada daerah dengan insiden yang rendah.
Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati pubertas, namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Kadang-kadang IDDM juga dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan, meskipun kejadiannya sangat langka. Diagnosis yang telat tentunya akan menimbulkan kematian dini. Gejala bayi dengan IDDM ialah napkin rash, malaise yang tidak jelas penyebabnya, penurunan berat badan, senantiasa haus, muntah, dan dehidrasi.
Insulin merupakan komponen vital dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel, terutama otot serta mengkonversi glukosa menjadi glikogen (glikogenesis) sebagai cadangan energi. Insulin juga menghambat pelepasan glukosa dari glikogen hepar (glikogenolisis) dan memperlambat pemecahan lemak menjadi trigliserida, asam lemak bebas, dan keton. Selain itu, insulin juga menghambat pemecahan protein dan lemak untuk memproduksi glukosa (glukoneogenesis) di hepar dan ginjal. Bisa dibayangkan betapa vitalnya peran insulin dalam metabolisme.
Defisiensi insulin yang dibiarkan akan menyebabkan tertumpuknya glukosa di darah dan terjadinya glukoneogenesis terus-menerus sehingga menyebabkan kadar gula darah sewaktu (GDS) meningkat drastis. Batas nilai GDS yang sudah dikategorikan sebagai diabetes mellitus ialah 200 mg/dl atau 11 mmol/l. Kurang dari itu dikategorikan normal, sedangkan angka yang lebih dari itu dites dulu dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) untuk menentukan benar-benar IDDM atau kategori yang tidak toleran terhadap glukosa oral.
GEJALA KLINIS IDDM
Tanda-tanda yang paling mudah dikenali ialah tanda-tanda akibat hiperglikemia, glikosuria, dan ketoasidosis. Hiperglikemia itu sendiri bisa tidak menimbulkan gejala apa-apa, meskipun kadang ditemukan malaise, sakit kepala, dan kelemahan tubuh. Anak-anak juga menjadi irritable, mudah marah, dan sering ngambek, namun gejala utama hiperglikemia ialah akibat diuresis osmotik dan glikosuria. Glikosuria itu sendiri merupakan peningkatan frekuensi dan volume urin (poliuri) sehingga sering membuat anak-anak sering mengompol di malam hari. Gejala ini mudah dikenali pada bayi karena sering sekali minum dan banyak sekali urin pada diapernya.
Polidipsia terjadi karena terdapat diuresis osmotik sehingga menyebabkan dehidrasi. Penurunan berat badan terjadi karena terjadi pemecahan lemak dan protein dalam jumlah banyak, meskipun nafsu makan anak relatif normal. Kegagalan tumbuh mungkin menjadi tanda utama yang membuat orang tua khawatir dengan anaknya sehingga memeriksakan ke dokter dan biasanya akan ditemukan hiperglikemia primer.
Malaise yang nonspesifik dapat terjadi kapan saja, terutama sebelum ditemukannya tanda-tanda hiperglikemia, atau mungkin dapat menjadi petanda tersendiri selain hiperglikemia, sehingga bukan sebagai tanda klinis yang khas. Gejala lain yang sangat perlu dikenali ialah gejala-gejala pada ketoasidosis, yakni dehidrasi berat, tercium bau keton di mulut, napas asidosis (Kussmaul) yang miriprespiratory distress, nyeri abdomen, muntah, somnolen hingga koma. Selain itu anak juga akan rentan terhadap infeksi karena terdapat penurunan imunitas akibat hiperglikemia, terutama infeksi saluran napas, saluran kemih, dan kulit, sehingga dapat ditemukan kandidosis. Yang paling sering dan mudah dikenali ialah kandidosis di daerah selangkangan.
Selain gejala malaise dan dehidrasi, anak-anak dengan diabetes dini tidak memiliki tanda yang khas pada tubuhnya. Mengingat penyakit endokrin autoimun banyak terjadi pada anak dengan IDDM, mungkin dapat ditemukan gejala endokrinopati lain, misalnya hipertiroidisme dengan gejala overaktivitas, cepat lelah, atau teraba gondok. Katarak dapat terjadi namun sangat jarang, kalaupun
ada biasanya pada anak perempuan dengan hiperglikemia pada jangka waktu lama. Dapat ditemukan nekrobiosis lipoidika, berupa daerah atrofi berwarna merah yang berbatas tegas. Kondisi ini terjadi akibat luka pada kolagen kulit dan sulit untuk diobati.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM IDDM
Tidak diperlukan pemeriksaan radiologi secara rutin, yang lebih berperan ialah pemeriksaan laboratoorium. Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu (GDS) dan Glukosa Darah Puasa (GDP) paling sering dilakukan. Batasnya 200 mg/dl (11 mmol/l) untuk GDS dan 120 mg/ml (7 mmol/l) untuk GDP. Selain darah, glukosa urin dapat menunjang diagnosis dan keton urin dapat menjadi petanda Ketoasidosis Diabetik (KAD), meskipun keton urin normal ditemukan pada orang yang lapar dan puasa. Ketonuria dapat menjadi marker jika terdapat defisiensi insulin dan gejala klinis yang menunjang KAD.
Hemoglobin yang terglikosilasi (HbA1a, HbA1b, dan HbA1c) merupakan hasil reaksi glukosa dengan hemoglobin yang nonenzimatik. Jika terjadi hiperglikemia pada waktu yang lama maka permukaan hemoglobin akan terglikosilasi tanpa enzim tertentu, sehingga akan terbentuk ikatan glikosilat pada minggu ke 8-10. Petanda ini menjadi penting karena dapat memantau perjalanan penyakit, biasanya diperiksa setiap tiga bulan sekali. Kisaran angka normal ialah 7-9%. Di bawah 7 berarti telah terjadi hipoglikemia dalam waktu lama, sedangkan di atas 9 berarti makin rentan terdapat komplikasi diabetes mellitus jangka panjang.
Pemeriksaan fungsi ginjal tidak perlu dilakukan sebagai pemeriksaan rutin, sementara pemeriksaan kimia darah lain yang tersier, misalnya antibodi anti sel beta dan antibodi anti insulin tidak harus dilakukan karena bukan merupakan marker yang spesifik IDDM. Anak-anak dengan IDDM juga kadang memiliki endokrinopati autoimun lainnya, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan kadar tiroid. Pada daerah dengan makanan pokok gandum, IDDM juga dapat menyebabkan penyakit celiac dan dapat ditemukan antibodi antigliadin (misalnya, Antiendomysial dan antitransglutaminase).
Tes lain yang sering dilakukan ialah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Dengan tes ini diabetes mellitus dapat disingkirkan jika terdapat hiperglikemia atau glukosuria tanpa adanya penyebab tipikal (penyakit kronis, terapi steroid) atau saat kondisi pasien memang mengalami glukosuria. Tes ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan GDP kemudian memberikan glukosa oral (2 g/kg untuk anak tahun, 1.75 g/kg untuk anak 3-10 tahun, atau 75 g untuk anak >10 tahun) dan dites dua jam kemudian. Angka GDP di atas 120 mg/dl (6,7 mmol/l) dan GDS 2 jam PP di atas 200 mg/dl (11 mmol/l) merupakan petanda diabetes mellitus. OGTT yang dimodifikasi juga dapat dikerjakan untuk mengenali MODY. Pada MODY dan DM tipe 2, selain peningkatan GDP-GDS, dapat ditentukan insulin atau c-peptide (termasuk prekursor) dalam kadar yang bervariasi. Profil lipid juga sebaiknya dikerjakan. Albumin urin (albumin excretion rate) dapat dites untuk memantau terjadinya mikroalbuminuria, petanda dini nefropati DM.
PENATALAKSANAAN IDDM
Semua penderita IDDM membutuhkan terapi insulin. Hanya anak-anak dengan dehidrasi berat, muntah terus-menerus, kelainan metabolik, atau anak dengan penyakit kronis yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dengan rehidrasi intravena. Pengobatan pun harus dilaksanakan secara terpadu; orang tua dan anak diajarkan untuk senantiasa mengecek sendiri kadar gula darah, menginjeksi insulin, serta untuk mengenali dan mengobati hipoglikemia. Diperlukan konsultasi ke ahli gizi, ahli diabetes, ahli oftalmologi, serta kadang psikolog.
Diet untuk anak dengan IDDM merupakan komponen yang sangat esensial. Tujuan diet pada IDDM ialah menyeimbangkan asupan makanan dengan dosis insulin dan aktivitas dengan cara menjaga kadar glukosa dalam rentang normal. Sebaiknya dapat diperkirakan jumlah karbohidrat yang dikandung dalam suatu makanan terutama bagi yang menggunakan insulin kerja cepat secara injeksi atau pompa ketika makan. Karbohidrat kompleks (mis. Sereal) dapat dikonsumsi sebelum tidur untuk mencegah terjadinya hipoglikemia nokturnal, terutama bagi yang mengkonsumsi insulin dua kali sehari.
DM merupakan kelainan metabolisme energi sehingga asupan makanan harus dijaga agar sebisa mungkin membatasi nutrisi yang membutuhkan metabolisme energi. Saat ini makanan yang dianjurkan ialah tinggi serat dan karbohidrat namun rendah lemak. Karbohidrat sebaiknya 50-60% dari total asupan energi, tidak lebih dari 10% dari sukrosa. Lemak harus kurang dari 30% dan protein sebanyak 10 sampai 20%.
Tidak ada pantangan untuk beraktivitas bagi penderita IDDM, namun kadang setelah melakukan aktivitas berat dapat terjadi hipoglikemia yang meliputi tungkai, menyebabkan sulit berjalan, lari, atau bersepeda. Setelah beraktivitas berat disarankan mengkonsumsi kudapan dalam jumlah agak banyak sebelum tidur.
Insulin mutlak diperlukan bagi penderita IDDM dengan rute pemberian yang beraneka macam. Januari 2006 lalu US-FDA telah menyetejui penggunaan insulin inhaler untuk dewasa yang diekstrak dari manusia (rDNA), namun dicabut kembali karena harganya tidak dapat dijangkau semua kalangan. Terdapat tiga golongan insulin secara klinis, yakni short-acting (mis. Regular, soluble, lispro, aspart, glulisine), medium dan intermediate-acting (isophane, lente, dentemir), serta long-acting (ultralente, glargine). (Baca Terapi Insulin untuk Praktek Sehari-hari)
Selain insulin, obat-obatan lain yang perlu diwaspadai mengurangi efek hipoglikemik insulin ialah asetazolamid, ARV, asparaginase, fenitoin, isoniazid, diltiazem, diuretik, kortikosteroid, tiasid, estrogen tiroid, kalsitonin, kontrasepsi oral, diazoxide, dobutamin, fenotiazin, siklofosfamid, litium karbonat, epinefrin, morfin, dan niasin. Sedangkan obat yang meningkatkan efek hipoglikemik insulin ialah ACE-inhibitor, alkohol, tetrasklin, penyekat beta, steroid anabolik, piridoksin, salisilat, MAO-inhibitor, mebendazole, sulfonamid, fenilbutazon, klorokuin, klofibrat, fenfluramin, guanethidine, octreotide, pentamidine, dan sulfinpyrazone.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar